Senin, 02 Februari 2009

Pandora Dan Makhluk Sial Bernama Harapan


Lukisan karya Nicolas Regnier (1626) ini berbeda dengan karya
John William Waterhouse (bawah), karena di sini Pandora
digambarkan membawa piala, bukan peti. (Gambar dari Wilkipedia)





"Kotak Pandora" adalah salah satu dongeng filosofis Yunani yang bagus.
Harfiah, "pandora" berarti "segala pemberian". Tapi dalam dongeng ini, Pandora adalah nama untuk wanita pertama di dunia, yang menjadi penyebab timbulnya segala bencana, karena sifatnya yang suka ingin tahu rahasia dan tidak bisa memegang amanat. Siapa tahu mitos tentang wanita sebagai "racun dunia" justru bersumber dari dongeng ini (?).
Pandora dicipatakan dewa Hephaestus atas permintaan dewa Zeus, yang ingin memadamkan api yang dicuri dari dewa-dewa oleh Titan (raksasa) Promotheus, yang sebelumnya diusir para dewa dari alam (kahyangan) mereka.
Konon, kepada wanita yang dibikin cantik dan pandai merayu itu, Zeus berkata, "Tugasmu adalah turun ke bumi, lalu menjadi istri Epimetheus, kakak Promotheus, yang berbuat kebajikan kepada manusia!"
Sebelum Pandora turun, Zeus pun berpesan agar wanita itu membawa sebuah peti, yang tidak boleh dibuka. Tapi - ah, dasar wanita! - Pandora malah penasaran ingin membukanya. Maka, di tengah jalan, ia pun membukanya. Apa yang terjadi?
Dari dalam peti itu berhamburan lah segala macam iblis dan setan, semua jenis bencana dan penyakit.
Dalam kagetnya yang tiada tara, secara reflek Pandora menutup lagi peti itu, sehingga tertahan lah satu makhluk di dalamnya. Siapa? Nama makhluk 'malang' itu adalah "Harapan". Peti yang hanya berisi makhluk itulah yang akhirnya diserahkan Pandora kepada Epimetheus.
Bersama makhluk itulah (Harapan) manusia akhirnya sanggup bertahan hidup, di tengah ancaman keganasan iblis, setan, bencana, dan penyakit.
Dongeng ini, selain 'mendaulat' wanita sebagai makhluk pengkhianat, juga menguatkan kepercayaan tentang pentingnya hidup, tapi tidak memberi alasan mengapa hidup harus dipertahankan, dengan menghadapi segala kesulitan. Ini sebuah dongeng yang jelas tidak ditujukan (hanya) kepada anak-anak.
Barangkali, seperti kata para ahli sastra, dongeng itu sengaja dibuat dengan akhir kisah yang terbuka, supaya ada kesempatan bagi pendengar dan pembaca untuk menafsirkan atau melanjutkan sendiri ceritanya.
Bahwa harapan adalah 'modal awal' untuk menjalani kehidupan, rupanya kita semua sudah sepakat. Namun kesepakatan itu segera buyar bila kita sudah bicara tentang "apa" yang kita harapkan.
Harapan anda (biasanya) tentulah berbeda dengan harapan saya. Karena itu, bisa jadi anda dan saya main cuek-cuekan (saling tak peduli). Atau sebaliknya, kita jadi saling bermusuhan dan adu jotos. Tapi, seandainya kita pun mempunyai harapan yang sama, adu tinju malah bisa menjadi lebih seru. Misalnya kita sama-sama mengharapkan sebuah kursi kekuasaan.
Harapan memang modal awal kehidupan, tapi harapan juga bisa menjadi biang bencana dalam kehidupan. Mengapa?
Harapan, sebagai bahan dasar, kelak bisa menjadi sebuah obsesi, ambisi, dan nafsu, yang ada kalanya mengubah kita jadi makhluk yang tidak segan-segan melanggar segala pagar dan batasan. Lihat saja apa yang sudah dan sedang dilakukan Israel terhadap Hamas dan rakyat Palestina. Mereka mampu melakukan sadisme yang paling sadis demi sebuah harapan, berdirinya negara Israel Raya; yang wilayahnya kelak bukan hanya seluas tanah Palestina tapi juga mencakup sejumlah wilayah di sekelilingnya. (Maka, celakalah para penguasa Arab yang kini hanya menonton kebiadaban Israel, yang tidak sadar bahwa Israel mempunyai rencana jangka panjang yang pasti dilaksanakan).
Jadi, benar lah gambaran dongeng itu, bahwa harapan pun sekotak belaka dengan segala biang penyakit dan bencana. Ah, Pandora! Seandainya kamu tidak membuka peti itu...!
Tapi, sebagai tafsir kehidupan, dongeng itu juga mempunyai kelemahan besar.
Bukan salah Pandora (wanita) yang digambarkan secara sembarangan sebagai makhluk bersifat buruk. Bukan pula salah harapan yang begitu versatile - serba pintar dan trampil - untuk membaur dengan segala kecenderungan manusia.
Kesalahan - tetap lah - terletak pada pemikiran si pendongeng, yang tidak mendefinisikan bahwa harapan sebenarnya merupakan makhluk liar, yang harus diikat dengan ilmu.
Tapi, juga bukan sembarang ilmu yang mampu menjinakkan dan mengendalikan harapan. Kesalahan memilih ilmu, bisa jadi malah membuat harapan tambah ugal-ugalan.
Maka, ditegaskan oleh Allah dalam Al-Quran bahwa setelah Ia menciptakan manusia, diajarkan kepadanya Al-Bayan.
Harfiah, al-bayan berarti penjelasan. Dengan itulah Allah menjelaskan nilai-nilai hidup yang harus ditegakkan, agar selanjutnya bisa disandari dan digantungi harapan.
Sebagai istilah, Al-Bayan adalah nama lain untuk Al-Quran; sebuah wahyu, sebuah kitab, sebuah pedoman hidup, yang sebenarnya mewakili harapan Allah sendiri (surat Al-Azhab ayat 56) yang dipaparkan, diwujudkan, dan ditawarkan kepada manusia melalui sunnah (wujud kehidupan) rasulNya.
Hanya manusia yang mau berpadu harap dengan harapan Allah (Al-Quran) yang bisa mengubah harapan (nafsu, ambisi, obsesi) pribadinya menjadi segala sesuatu yang mengamankan, menyelamatkan, dan membahagiakan sesama. Manusia seperti itulah yang oleh Allah sendiri diberi gelar sebagai khairul-bariyyah, alias makhluk jempolan. (Surat Al-Bayyinah ayat 7).
Manusia-manusia seperti itulah yang layak menjadi pemimpin di segala bidang kehidupan.
Sayangnya, mereka masih tinggal di 'alam harapan'.