Rabu, 04 Februari 2009

Please Dech, Jangan Ada Perang Doonk!

Bom Israel menghantam Gaza



Banyak orang humanis, berhati mulia dan lembut berseru, “Please dech, jangan ada perang doonk!”
Terutama sehubungan dengan perang babi buta gaya Israel, seruan itu pun menggema lagi di mana-mana. Bukan hanya keluar dari mulut wanita bertubuh gemulai dan berkulit halus – sehingga sering dianggap berhati lemah – seruan itu juga dikumandangkan oleh para jantan macho berbadan gede, atletis, brewokan dan berkumis.
Kata mereka, perang itu bengis, sadis, menghancurkan segala produk budaya sekaligus produsen kebudayaan itu sendiri (manusia). Ironisnya, bila penghancuran itu dilakukan oleh manusia yang lebih berbudaya, kehancurannya menjadi lebih amburadul pula. Pokoknya, semakin tinggi kebudayaan pelaku perang, semakin edan cara berperangnya, dan semakin sulit dipahami untuk apa penghancuran segala-gala itu dilakukan.
Makanya, “Please dech, jangan perang doonk!”
Sayang seribu sayang, seruan itu hanyalah wakil dari sebuah wishful thinking. Sebuah cara berpikir yang berlandas hanya pada wish alias keinginan, alias khayalan. Atau, dalam definisi kamus saku terbitan Oxford, wishful thinking adalah believing that something is true because one wishes it. Mempercayai benarnya suatu hãl (Arab: keadaan) semata-mata karena dia ingin bahwa hãl itu adalah benar.
Dan, kalau kita mau menyimpang sedikit, ketahuilah wahai saudaraku bahwa wishful tinking itu sebenarnya adalah penyakit (jiwa) yang melanda hampir semua orang politik! Kerennya, wishful thinking itu mereka susun menjadi platform (program) partai.
Kembali ke soal seruan “jangan perang dong”. Dengan agak menyesal harus saya katakan bahwa seruan ini lugu tapi dungu. Mengapa?
Anda hanya bisa mewujudkan seruan itu bila anda sudah terbujur di liang kubur! Pada saat itu anda tidak akan melakukan apa-apa walaupun tubuh indah kebanggaan anda diserobot, diacak-acak, diseruput, dilumat-lumat ribuan belatung!
Selagi anda eksis di atas tanah, bila anda ingin juga mewujudkan seruan itu, maka berdiam dirilah anda ketika istri, suami, orangtua, sanak-saudara dan siapa pun orang yang anda cintai diambil dari anda, diperkosa, disiksa, dihinakan, dibunuh …
Berdiam dirilah! Hidangkan reaksi kaku, beku, membatu, bengong melompong, pada saat apa pun yang anda miliki dirampas orang. Jangan marah pada tukang copet, perampok, pemerkosa, koruptor…
Pendeknya, terapkan (secara negatif) pepatah bahwa diam itu emas (silent is golden)!
Pasti (?) tak akan ada perang.
Tapi, sekali lagi, itu hanya khayalan. Itu bukan realitas. Itu bukan kenyataan alam. Itu ahistoris.
Untuk bisa menegakkan “gagasan” itu, anda harus menjadi orang yang tidak punya prinsip. Tidak punya apa pun yang harus dibela dan dipertahankan. “Please dech jadilah orang kayak ‘gitu, kalo bisa!”
Kalau anda beragama, coba periksa kitab suci anda. Sebagai orang Kristen, anda pasti kenal istilan Armagedon. Sebagai orang Hindu, tentu anda tahu Bharata Yudha. Sebagai muslim, anda tidak bisa menghapus kata jihãd dan atau qitãl, misalnya.
Bedanya dengan kitab-kitab lain, Al-Qurãn dan Hadîts menghidangkan kedua kata itu dalam dua kemungkinan makna, harfiah dan kiasan. Dan – lucunya! – kedua makna itu juga ternyata tidak bisa dipisahkan.
Perang harfiah – anda tahu – adalah adu jotos, menggunakan tinju, pisau, pedang, pistol, senapan, meriam, sampai nuklir. Perang kiasan, kadang disebut perang batin, perang urat saraf, perang prinsip, perang suci (holy war), sampai perang peradaban (clash of vivilizations) yang diungkap Mas Huntington, yang – ternyata – mengilhami perang antisipatif (pre-emtive war) Pak Bush terhadap 'teroris'. Maka diseranglah Afganistan dan Irak. Kemudian, yang masih segar, adalah “perang urat malu” yang dirintis sobat Zaidi, wartawan teve Al-Baghdadia, yang melempar si brengsek Bush dengan sepatu.
Anda – baik muslim atau pun bukan – boleh mengatakan bahwa Al-Qurãn (seperti juga Mahabharata, he he) adalah sebuah kitab yang menghalalkan perang. Bahkan, kepada orang yang takut berperang dengan ‘enteng’ Allah mengatakan, “Sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka, tapi Allah. Dengan kata lain, bukan kamu yang meluncurkan panah ketika kamu memanah tapi Allah lah yang meluncurkan panah itu!” (Al-Anfal ayat 17).
Ayat ini mirip dengan nasihat Krisna kepada Arjuna dalam Bhagawad Ghita. Sang lelanang jagat yang resah dan risih, karena harus memerangi sanak-saudara, diyakinkan oleh Krisna bahwa yang diperangi Arjuna bukanlah darah-dagingnya tapi kejahatan mereka.
Itulah arti perang yang sebenarnya, Saudara. Baik harfiah maupun kiasan, perang adalah cara untuk membendung arus kejahatan.
Bila anda tak mau berperang – demi kebenaran, maka arus kejahatan pasti menggulung anda, atau ‘saudara’ anda (seperti yang terjadi di Gaza itu!).
Maka, daripada menjadi korban kejahatan dan atau harus menonton pameran kejahatan, “Please, mendingan perang aja dech!”

Islam Adalah Sebuah Bangunan

PEMERINTAHAN RASULULLAH 3




Sebuah hadis Bukhari mengatakan:

Kata Ibnu ‘Umar, Rasulullah saw pernah mengatakan, “Islam dibangun berdasar lima (asas, yaitu): (1) syahadat berupa pernyataan bahwa satu-satunya Tuhan adalah Allah dan Muhammad adalah rasul Allah, (2) penegakan shalat, (3) pembayaran zakat, (4) haji, dan (5) shaum Ramadhan.”

Hadis ini adalah potongan dari Hadis Jibril, yang agaknya diucapkan Rasulullah pada kesempatan lain.
Kata yang diberi garis bawah pada teks hadis, buniya, adalah kata kerja pasif. Bentuk aktifnya adalah banã / بنى, yang berarti membangun, membina, membentuk dsb. Kata kerja ini mempunyai beberapa bentuk masdar, antara lain bun-yãn/بنيان dan binã’an/بناء. Makna harfiah dalam bahasa Indonesia adalah bangunan, bentuk, dsb. Kalimat bunniyal-islâmu…menegaskan bahwa Islam adalah sebuah bangunan.
Ada yang mengatakan bahwa kata bun-yãn atau binã’an mengacu pada bentuk atau bangunan fisik (material). Tapi melalui hadis tersebut kita mendapat penegasan bahwa kata-kata tersebut bisa juga digunakan untuk menyebut bangunan yang bukan fisik. Al-Islam, jelas bukan sebuah bangunan fisik.
Al-Qurãn sendiri memuat kata bun-yãn, misalnya, dalam susunan demikian:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ

Allah sangat menyukai orang-orang yang berjuang untuk menegakkan ajaranNya dalam suatu barisan, (sehingga) mereka menjelma tak ubahnya sebuah bangunan yang tersusun rapi. (Ash-Shaff: 4).

Bila ayat ini dipahami secara sempit, dalam konteks militer, kata bun-yãn(un) di situ berarti formasi, yaitu bentuk tertentu dari barisan tentara ketika berhadapan dengan musuh. Formasi tentara (khususnya angkatan darat) itu akan berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan taktis (siasat) di lapangan. Ini masih mengacu pada bangunan fisik. Tapi, secara luas, ‘perang’ (perjuangan) untuk menegakkan ajaran Allah adalah perang permanen, perang yang kekal, yang medannya mencakup medan internal dan eksternal. Dengan demikian, kata bun-yãn pada ayat di atas bisa dimaknai sebagai bangunan yang abstrak, tepatnya organisasi atau jama’ah; khususnya jama’ah mu’min, yang juga digambarkan oleh Rasulullah sebagai sebuah bun-yãn:

مثل المؤمن للمؤمن كالبنيان يشدّ بعضه بعضا

Gambaran (sikap) mu’min terhadap mu’min (yang lain) adalah seperti sebuah bangunan; (yaitu) satu bagian menguatkan bagian yang lain (= satu sama lain saling menguatkan).

Lebih lanjut, Al-Qurãn memuat kata yang menggambarkan bangunan dalam bentuk khusus, yaitu بيت /bait (rumah), yang terbagi menjadi dua ‘jenis’, yaitu baitullah/ بيت الله (‘rumah’ Allah) dan baitul-‘ankabût/ بيت العنكتوت (sarang laba-laba).
Tentang baitullah yang terletak di Makkah, diberitakan Allah demikian:

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ

Sebenarnya rumah pertama yang dibangun (wudhi’a) bagi manusia adalah rumah yang terdapat di Bakkah (Makkah), yang keadaannya mubarak serta menjadi petunjuk bagi manusia. (Ali ‘Imran: 96)

Ditinjau dari satu sisi, ayat ini seperti hanya memberitakan tentang rumah (fisik) yang pertama kali dibangun di bumi, yang bersifat mubãrakan (bertambah; menjadi banyak; berkembang), dan hudan (menjadi petunjuk; sesuatu yang mengilhami). Maksudnya, secara denotatif (harfiah), ayat ini adalah informasi bahwa Ka'bah adalah rumah (bangunan) pertama di dunia, yang dibangun (rasul Allah, atas bimbinganNya) secara sengaja sebagai sebuah prototype (contoh pertama), supaya bisa diperbanyak dan dikembangkan oleh manusia. Dengan demikian, ayat ini juga seperti hendak mengingatkan bahwa untuk urusan bikin rumah saja pun - ternyata! - manusia itu harus diajari oleh Allah.
Kemudian, khususnya pada masa Ibrahim, ‘rumah pertama’ itu ternyata berfungsi sebagai matsãbatan linnãs/مَثَابَةً لِلنَّاسِ seperti terkesan melalui paparan ayat ini:

وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

Pada masa (Ibrahim) Kami jadikan rumah itu (Ka’bah) sebagai matsãbah bagi manusia, yakni untuk mencari kedamaian. Maka selanjutnya, jadikanlah maqãm Ibrahim itu sebagai mushalla, sebab telah Kami tetapkan perjanjian pada Ibrahim dan Ismail (yang intinya adalah perintah), “Peliharalah oleh kalian berdua kebersihan rumahku ini, agar selalu bisa dimanfaatkan untuk orang-orang berthawaf, i’tikaf, ruku’ dan sujud. (Al-Baqarah: 125).

Dalam berbagai buku digambarkan bahwa Ka’bah secara perlahan tapi pasti menjelma menjadi pusat negara kota (city state) Makkah, dan maqãm Ibrahim menjadi mushalla (tempat shalat), yang selanjutnya – lama setelah Ibrahim dan Isma’il tiada – berubah menjadi tempat pemujaan berhala.
Bila kita cermati kata bait, matsãbah, maqãm, dan mushalla dalam konteks Ibrahim dan Isma’il sebagai para rasul Allah, akan kita dapati bahwa keempat kata tersebut tidak melulu mengacu pada benda. Bait, misalnya, selain berarti rumah, bisa juga berarti ‘rumah tangga’, yang dalam konteks seorang rasul dan risalahnya berarti jama’ah. Matsãbah bisa jadi merupakan tempat orang mencari tsawãb, yakni suatu anugerah (pemberian) yang diberikan Allah kepada manusia melalui rasulnya (wahyu). Demikian juga halnya istilah maqãm, yang dalam konteks kerasulan Ibrahim terlalu dangkal untuk diartikan sebagai tanah atau alas tempat Ibrahim berdiri (ketiga berkhutbah) atau tinggal. Dalam konteks kerasulan Ibrahim, maqãm Ibrahim bisa berarti ‘pendirian’, alias sikap Ibrahim, yang layak diteladani oleh setiap orang yang hendak menjadi hamba Allah. Yaitu sikap hanifan musliman (Ali 'Imran 67). Demikian juga dengan istilah mushalla, yang bisa berarti tempat shalat dalam bentuk bangunan fisik, bisa juga berarti tumpuan harapan.
Dengan demikian, ayat di atas bisa mempunyai pengertian: Pada masa Ibrahim, ‘rumah itu’ (Ka’bah) menjadi sarana manusia berkumpul menuntut ilmu Allah dari Ibrahim, yang selanjutnya mereka dibina oleh Ibrahim menjadi suatu jama’ah, untuk membangun suatu kehidupan yang aman. Karena itulah, kepada para pengikut nabi-nabi berikutnya, termasuk Muhammad, Allah menganjurkan agar meteka “mengulang sejarah” Ibrahim itu, yaitu memelihara ‘rumah itu’ sebagai sarana ibadah ritual, dan terutama sebagai wadah untuk membangun jama’ah yang bersifat internasional (melalui ibadah haji).
Surat Al-'Ankabut ayat 41 secara terang-terangan menghubungkan konsep rumah dengan pemilihan pemimpin atau pelindung (wali, jamaknya auliya):

مثل الّذين اتخذوا من دون الله أولياء كمثل العكبوت إتخذت بيتا
وإنّ أوهن البيوت لبيت العنكبوت لو كانوا يعلمون

Gambaran orang-orang yang memilih berbagai pelindung selain Allah (dengan ajaranNya) adalah seperti laba-laba membuat rumah (sarang). Kalau saja mereka berpikir ilmiah, pastilah mereka tahu bahwa serapuh-rapuhnya rumah adalah rumah laba-laba.

Ketika berbicara tentang kepemimpinan, Rasullah mengambil rumahtangga sebagai perumpamaan:

عن ابن عمر عن النبي ص م قال
ألا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالأمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ و مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَهِيَ وَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ ألا فكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.

Ibnu Umar mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda, "Camkanlah, bahwa kalian semua adalah (ibarat) penggembala yang pasti ditanya tentang gembalaannya. Maka begitulah halnya amir yang memimpin orang banyak; (dia adalah) penggembala yang pasti ditanya tentang gembalaannya. Begitu pula seorang suami; (dia adalah) penggembala bagi para anggota keluarganya, yang pasti ditanya tentang mereka. Demikian juga seorang istri; (dia adalah) penggembala atas rumah suaminya, yang pasti ditanya tentang gembalaannya. Sama juga halnya seorang abdi (pelayan dsb); (dia adalah) penggembala atas harta tuannya, yang pasti ditanya tentang itu. (Sekali lagi) camkanlah, bahwa kalian semua adalah penggembala yang pasti ditanya tentang gembalaannya. [Sunan At-Tirmidzi].