Kamis, 29 Januari 2009

Pemerintahan Rasulullah (Sebuah studi permulaan)

PEMERINTAHAN RASULULLAH 2




Pelaksana sekaligus perintis pemerintahan Qurãni adalah Nabi Muhammad. Pelanjutnya adalah empat sahabat beliau (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), yang terkenal dengan sebutan al-khulafã’u-rrasyïdûn, para khalifah (pengganti, pelanjut) yang 'lurus'.
Tentang bagaimana Nabi menyusun struktur kepemimpinan dan menjalankan mesin pemerintahan, Al-Qurãn memberi isyarat-isyarat, kitab-kitab Hadis menghi-dangkan data yang berasal dari fakta tentang ucapan, tindakan, dan toleransi beliau. Buku-buku sejarah memaparkan hal-hal tersebut secara lebih ‘cerewet’, walau harus diakui terlalu sedikit yang menghidangkan hasil pemikiran kritis. Bahkan banyak di antara penulis-penulisnya yang lebih cenderung menyajikan dongeng.
“Muhammad, selain sebagai rasul, tentara, negarawan, beliau juga sebagai administratur yang piawai. Beliau mengepalai wilayah-wilayah persemakmuran Islam selama sepuluh tahun (622-632 M). “Perjuangan Nabi selama waktu yang cukup singkat tersebut dipandang sebagai satu-satunya perjuangan yang paling berhasil sepanjang sejarah dunia.” (Ameer Ali, The Spirit of Islam). Keberhasilan perjuangan Nabi dalam mengorganisir negara dan dalam meletakkan dasar-dasar pemerintahan bagi sebuah imperium Islam tidak dapat dipungkiri. …”
Nabi menempatkan Allah sebagai pemimpin tertinggi, yang memberikan Al-Qurãn sebagai hukum yang berlaku bagi seluruh warga negara, termasuk diri Nabi sendiri, yang dalam administrasi pemerintahan menjadi pemimpin tertinggi eksekutif. Tentu saja, tidak semua masalah praktis pemerintahan dan kehidupan didiktekan oleh Allah. Nabi, sebagai manusia yang berakal sehat dan mendapat pendidikan langsung dari Allah, tentu bisa menghadapi sendiri masalah-masalah pragmatis tertentu. “Diajarkan kepadaku sekumpulan kalimat (yakni Al-Qurãn), yang di dalamnya berisi ikhtisar hikmah.” (أوتيت جوامعَ الكلام واحتصرت لى الحكمةُ إحتصارا).
Namun, Nabi juga menegaskan bahwa beliau masih memerlukan bantuan orang-orang di sekitarnya (para sahabat), yang sama-sama menerima ajaran Allah sebagai pedoman hidup, seperti tersirat melalui sabdanya, “Aku adalah manusia biasa seperti kalian. Aku (bisa) lupa sebagaimana kalian (bisa) lupa. Maka bila aku lupa (sesuatu), ingatkanlah aku.” (إنّما أنا بشر مثلكم أنسى كما تنسون فإذا نسيت فذكّرونى).
“Telah menjadi kebiasaan bagi Nabi s.a.w. pada sewaktu-waktu, apabila hendak mengerjakan sesuatu perkara yang dirasa penting, sedangkan wahyu dari Tuhan belum diturunkan, maka Nabi s.a.w. mengadakan “permusyawaratan” dengan sahabat-sahabatnya yang terpandang. … yang berpengetahuan dan berpemandangan luas serta berpengaruh besar, … tua ataupun muda… Terutama Abu Bakar dan Umar (muhajirin)… dan Sa’ad bin Mu’adz (Anshar)…”
Infra struktur yang dibangun Nabi setibanya di Yatsrib adalah masjid. Pengertian harfiah dari masjid adalah tempat sujud. Tapi, melalui keteladanan Nabi, kita bisa melihat apa dan bagaimana fungsi masjid sebenarnya. Pertama, tentu saja, masjid adalah tempat para mu’min melakukan shalat ritual, secara berjama’ah, dan Nabi selalu tampil sebagai imam. Begitu pentingnya shalat berjama’ah di masjid itu, sehingga Nabi mengeluarkan perintah untuk membakar rumah seseorang yang tidak mau shalat berjama’ah. Artinya, shalat jama’ah itu berkaitan dengan masalah disiplin.
Di masjid itu pula berlangsung kegiatan belajar mengajar. Para pelajar dan pengajar banyak yang tinggal di masjid (mereka dikenal sebagai ahlu-suffah). Para penduduk sekitar masjid menyediakan makanan untuk mereka, dan Nabi selalu memeriksa mutu makanan yang dihidangkan. Suatu ketika Nabi pun marah besar, karena mendapati daging yang sudah busuk!
Berikut ini adalah kutipan dari Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terjemahan Ghufron A. Mas’adi dari Study of Islamic History, karya Prof. K. Ali, hal. 84-88:

1. Sistem Pemerintahan
Langkah kebijakan yang pertama kali ditempuh Nabi setiba di Madinah adalah membangun mesjid, yang kemudian dikenal sebagai “Mesjid Nabawi”, yang merupakan pusat kegiatan pemerintahan Islam. Selain sebagai tempat ibadah, mesjid tersebut juga berfungsi untuk kantor pemerintah pusat dan sebagai kantor peradilan. Beliau memimpin shalat jama’ah dan menyelenggarakan seluruh kegiatan kenegaraan di dalam mesjid ini. Di dalam mesjid ini Nabi melakukan kegiatan adminsitrasi juga urusan surat menyurat dan pendelegasian misi dakwah ke beberapa penguasa dan suku-suku di sekitar semenanjung Arabia. Perjanjian dan penjamuan para delegasi asing, penetapan surat perintah kepada para gubernur dan pengumpulan pajak diselenggarakan di mesjid ini. Sebagai hakim, Nabi memeriksa dan menyelesaikan perkara di mesjid ini juga. Pendek kata, mesjid ini merupakan skretariat pusat Nabi, di mana pada saat itu belum dikenal perkantoran.

2. Sistem Propinsial
Setelah berhasil membentuk negara kesatuan, Nabi membagi wilayah kekuasaan Islam menjadi beberapa wilayah propinsi berdasarkan latar belakang sejarah dan letak geografis. Di antara propinsi tersebut adalah propinsi Madinah, Mekah, Thayma, Janad, Yaman, Najran, Bahrain, Uman, dan Hadramaut, dengan Madinah sebagai pemerintahan pusat. Administrtasi propinsi Madinah secara langsung berada di bawah kekuasaan Nabi, sedang wilayah propinsi yang lainnya dikuasakan kepada seorang gubrnur yang bergelar “wali”. Wali-wali ini diangkat oleh Nabi dan mempertanggung jawabkan tugasnya secara langsung kepada Nabi. Mereka mempunyai wewenang khusus di wilayahnya masing-masing sebagaimana wewenang yang dimiliki oleh Nabi atas wilayah propinsi Madinah. Mereka masing-masing menjabat sebagai imam shalat, panglima militer, hakim, dan sebagai administrator. Di samping mengangkat wali, Nabi juga mengangkat amil, yakni petugas pengumpul zakat dan sedekah pada tiap-tiap propinsi. Di Madinah, Nabi juga menjabat sebagai hakim atau “qadi”, sedang pada tiap-tiap propinsi diangkat seorang atau beberapa hakim yang bertanggung jawab secara langsung kepada Nabi Muhammad.

3. Sistem Pendapatan Negara
Pada masa pra Islam, masyarakat Arab tidak mengenal otoritas pemerintahan pusat. Mereka juga belum mengenal sistem pendapatan dan pembelanjaan pemerintahan. Nabi Muhammad merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan sistem ini di wilayah Arabia. Beliau mendirikan lembaga kekayaan masyarakat di Madinah. Terdapat lima sumber utama pendapatan negara Islam, yaitu (i) zakat, (ii) jizyah (pajak perorangan), (iii) Kharaj (pajak tanah), (iv) ghanimah (hasil rampasan perang), (v) al-fay’ (hasil tanah negara).
Arti penting zakat telah ditegaskan di dalam al-Quran. Ia merupakan kewajiban bagi setiap muslim atas harta kekayaan yang berupa binatang ternak, buah-buahan dan biji-bijian, atau hasil pertanian, emas dana perak, serta harta perdagangan.
Masing-masing harta obyek zakat ditentukan batas minimal wajib zakat (nishab). Misalnya, emas dan perak di bawah 200 dirham tidak wajib zakat. Besarnya zakat hasil pertanian adalah 10% jika tanah tadah hujan (inilah yang disebut al-‘usyr atau sepersepuluh). Adapun emas, perak dan harta perdagangan zakatnya sebesar 2,5%.
Jizyah adalah pajak yang dipungut dari nonmuslim sebagai biaya pengganti atas jaminan keamanan jiwa dan harta benda mereka. Penguasa Islam wajib mengembalikan jizyah jika tidak berhasil menjamin dan melindungi jiwa dan harta kekayaan nonmuslim. Pada zaman Nabi orang mukmin yang berkewajiban zakat tetap diwajibkan membayar pajak sebesar satu dinar per tahun. Ketentuan semacam ini bukanlah hal yang baru, sebab pada masa sebelum Islam di negeri Persia pajak ini telah berlaku dengan nama "gezit", juga berlaku di negeri Romawi dengan istilah Tributeen Capitis.
Setiap nonmuslim wajib membayar kharaj yakni pajak atas pemilikan tanah. Pajak semacam ini dikenal di masyarakat Persia dan Romawi. Nabi memberlakukan kharaj di negeri-negeri Arabia setelah penbaklukan Khaybar. Nabi menetapkan separuh (1/2) hasil pertanian sebagai kharaj.
Senjata, kuda, dan harta bergerak lainnya dari 1/5 harta rampasan perang merupakan kekayaan negara. Barang-barang tersebut diperoleh pasukan muslim dari lawan perangnya yang melarikan diri dari medan peperangan. 4/5 harta rampasan perang ini dibagikan kepada pasukan muslim yang turut berperang, sedang yang 1/5 sisanya dikumpulkan sebagai kekayaan negara. Sesuai dengan petunjuk al-Quran, seperlima sisa ghanimah tersebut mesti didistribusikan untuk keperluan keluarga Nabi, anak-anak yatim, fakir miskin dan untuk kepentingan umum masyarakat muslim.
Istilah "al-fay" pada umumnya diartikan sebagai tanah-tanah yang berada di wilayah negeri yang ditaklukkan oleh pasukan muslim lalu menjadi harta negara. Maka pada masa Nabi, negara mempunyai tanah-tanah pertanian yang luas sekali yang mana hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum masyarakat.

4. Kemiliteran
Nabi adalah pimpinan tertinggi tentara muslim. Beliau turut terjun dalam 26 atau 27 peperangan dan ekspedisi militer. Bahkan Nabi sendiri yang memimpin beberapa perang yang besar misalnya, perang Badar, Uhud, Khandaq, perang Hunain, dan dalam penaklukan kota Mekah. Adapun peperangan dan ekspedisi yang lebih kecil pimpinan diserahkan kepada para komandan yang ditunjuk oleh Nabi. Pada saat itu belum dikenal peraturan kemiliteran. Setiap ada keperluan pengerahan kekuatan militer dalam menghadapi menghadapi suatu peperangan atau ekspedisi, maka Nabi mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat untuk memusyawarahkan perihal tersebut. Pada masa-masa awal pasukan muslim yang dapat dihimpun Nabi tidak seberapa jumlahnya, tetapi pada akhir masa pemerintahan Nabi terhimpun militer Islam yang sangat besar. Pada perang Badar, militer muslim hanya terdiri 313 pejuang, tetapi pada ekspedisi terakhir masa Nabi, yakni ekspedisi ke Tabuk, armada msulim lebih dari 30 000 pasukan. Mereka adalah para pejuang yang berdisiplin tinggi, selain itu mereka memiliki moralitas yang tinggi pula. Mereka dilarang keras melanggar disiplin perjuangan Islam. Jika melanggarnya, atas mereka hukuman yang sangat berat.

5. Sistem Pendidikan
Sekalipun tidak mengenyam pendidikan, Nabi sangat gigih menganjurkan kewajiban menuntut ilmu pengetahuan. Beliau selalu mendorong masyarakat muslim giat belajar. Betapa sikap Nabi dalam mendorong kegiatan pendidikan terlihat dalam salah satu sabdanya: "Bahwasanya tinta seorang alim (ilmuwan) lebih suci daripada darah para syahid (pahlawan yang gugur di medan juang)". Setelah hijrah ke Madinah, Nabi mengambil prakarsa mendirikan lembaga pendidikan. Pasukan Quraisy yang tertawan dalam perang Badar dibebaskan dengan syarat mereka masing-masing mengajarkan baca tulis kepada 10 anak-anak muslim. Semenjak saat itu kegiatan baca tulis dan kegiatan pendidikan lainnya berkembang dengan pesat di kalangan masyarakat Madinah. Selanjutnya Madinah tidak hanya menjadi pusat pemerintahan Islam tetapi sekaligus menjadi pusat pendidikan Islam. Pada saat itu di Madinah terdapat sembilan lembaga pendidikan yang mengambil tempat di mesjid-mesjid. Di tempat inilah Nabi menyampaikan pelajaran dan berdiskusi dengan murid-muridnya. Para wanita belajar bersama dengan laki-laki. Bahkan Nabi memerintahkan agar tuan-tuan mendidik budaknya, lalu hendaknya mereka memerdekakannya. Pada tiap-tiap kota diselenggarakan semcam pendidikan tingkat dasar sebagai media pendidikan anak-anak. Ketika Islam telah tersebar ke seluruh penjuru jazirah Arabia, Nabi mengatur pengiriman mu'allim atau guru-guru agama untuk ditugaskan mengajarkan al-Quran kepada suku-suku terpencil.

Tidak ada komentar: