Senin, 26 Januari 2009

P e m e r i n t a h a n

PEMERINTAHAN RASULULLAH 1


Pemerintahan adalah sebuah kata benda abstrak yang dibentuk dari kata dasar perintah.
Perintah muncul dalam dua bentuk, yaitu (1) perintah positif, dan (2) perintah negatif.
Perintah positif dengan kata lain adalah anjuran, suruhan, dorongan, pengkondisian dan pemaksaan supaya orang atau banyak orang melakukan sesuatu. Sebaliknya, perintah negatif adalah larangan, cegahan, pengkondisian, dan pemaksaan agar orang atau banyak orang tidak melakukan sesuatu. Keduanya, perintah positif dan negatif, diundangkan, dimasyarakatkan (disosialisasikan), dan diberlakukan oleh penyelenggara pemerintahan, yaitu pemerintah dan seluruh aparatnya.
Kedua bentuk perintah itu kadang kita sebut sebagai undang-undang, peraturan, atau hukum. Istilah yang terakhir, hukum, diambil dari bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, pemerintahan juga disebut dengan istilah hukumah, yang tentu merujuk pada kata hukum; mengisyaratkan bahwa sebuah pemerintahan pada dasarnya dibentuk dalam rangka penegakan hukum.
Istilah hukum, selain berarti peraturan, juga berarti kebijaksanaan; menegaskan bahwa suatu peraturan selayaknya dibuat dan diberlakukan berdasar prinsip kebijaksanaan yang menyentuh segala segi kemampuan dan kebutuhan hidup manusia yang menjalankan hukum itu.
Hukum diselenggarakan di suatu tempat tertentu (negara dsb), dalam rangka menciptakan suatu kehidupan bersama yang hasanah (baik); yaitu suatu bentuk kehidupan yang memunculkan segala ‘sisi baik’ manusia (amar ma’ruf), seraya sedapat mungkin membelenggu ‘sisi buruk’ manusia (nahi munkar).
Hukum dijalankan melalui sistem imãmah (pemanduan), yang membagi manusia pelaksana hukum menjadi dua golongan, yaitu (1) imam (pemandu) dan (2) ma'mum (pengikut).
Dalam sebuah hadis, imam dikiaskan sebagai rã’in (penggembala), dan ma’mum diumpamakan sebagai ra’iyyah (gembalaan). Dalam bahasa Indonesia, rã’in disebut pemerintah, ra’iyyah dieja sebagai rakyat. (Ini hanya salah satu isyarat yang mengingatkan sejauh mana pengaruh ajaran Islam merasuk ke dalam kesadaran bangsa Indonesia).
Pemerintah adalah kata tunggal yang bermakna jamak. Jelasnya, yang disebut pemerintah pada hakikatnya adalah sebuah supra struktur, yakni sejumlah orang yang berhimpun dalam sebuah struktur (susunan) kepemimpinan, untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan.
Bila beranalogi pada trias politika, fungsi-fungsi pemerintahan itu terbagi pada fungsi legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Belakangan, ketiga fungsi tersebut bahkan ditambah dengan pers – yang memerankan fungsi kontrol – sebagai “kekuatan keempat”.
Dengan demikian, pemerintahan dapat didefinisikan sebagai: Sistem pemberlakuan perintah (dalam arti undang-undang, peraturan, hukum), yang diselenggarakan oleh sekumpulan orang (pemerintah) bersama sekumpulan orang lainnya (rakyat) di suatu tempat (negara dsb), untuk menciptakan kehidupan bersama yang baik.

4 komentar:

Ajib Setya Budi mengatakan...

Tentang pemerintahan, ada permaslahan bahwa pada masa itu Rasulullah benar-benar hadir menyertai mereka. Sehingga, segala persoalan langsung bisa ditanyakan. Problem kita hari ini adalah pada sisi al Hadits sebagai rekaman kehidupan Rasulullah. Kalau umat Islam selalu menyatakan berpedoman pada al Qur'an dan al Hadits mereka mudah menunjukkan al Qur'annya. Sedangkan al Haditsnya ternyata belum ada yang sudah dikodifikasikan menjadi satu dan menjadi standar untuk umat Islam seluruh dunia. Harusnya, kita sebagai umat Islam tak perlu dipusingkan lagi soal sahih tidaknya hadits karena yang sudah dibakukan sudah diteliti oleh para ahlinya secara cermat.Maka mungkin tugas Depag untuk merealisasikannya.

A Husein mengatakan...

Kalau tak salah, ada Hadits yang mengatakan bahwa kita mempunyai kelebihan dibanding mereka yang hidup sezaman dengan Rasulullah. Mengapa? Mungkin karena mereka berimam kepada beliau, sedangkan kita harus berimam pada "sistem" yang beliau wariskan. Dengan kata lain, imam mereka nyata sedangkan imam kita abstrak! Nah, tugas ulama (termasuk yang di Depag) tentulah menemukan dan mengelaborasi sistem itu.

Unknown mengatakan...

Saya jadi ingat pelajaran di sekolah dulu. Kalau nggak salah ada 2 bentuk pemerintahan dalam arti sebagai penyelenggara negara, yaitu 'rechstaat' dan 'machstaat'. Konon 'rechstaat' adalah mewakili bentuk negara hukum, sedangkan 'machstaat' merupakan cerminan negara kekuasaan. Dalam 'rechstaat' hukum tampil sebagai panglima dan dalam 'machstaat' segala sesuatu yang non-hukum-lah yang menjadi panglimanya. Yang non-hukum itu bisa berupa manusia, uang, senjata -atau apa saja- pokoknya yang bisa mendominasi, mengkooptasi dan menghegemoni manusia. Maka kesimpulan saya, hukum yang menjadi panglima dalam 'rechstaat' tersebut harus suatu hukum yang tidak diciptakan oleh manusia. Kenapa? Karena bila hukum itu diciptakan manusia maka ujung-ujungnya yang berkuasa ya manusia lagi. Dan manusia umumnya kalah sama duit. Makanya sehebat apapun manusia nggak bakalan bisa mampu menciptakan hukum dalam arti yang sebenar-benarnya. Paling banter ya menciptakan UUD yang terkenal itu, Ujung-Ujungnya Duit. He... he... he.... Kalau ini yang terjadi memang benarlah 'ramalan' yang mengatakan bahwa pada akhirnya "Keuanganlah yang Maha Kuasa" di mana-mana. APA KATA DUNIA eh... APA KATA AKHIRAT !!!???

A Husein mengatakan...

Di masa remaja saya menemukan sebuah "Hadis" dalam sebuah buku, yang artinya: "Dengan diciptakan uang maka selesailah separuh kerja setan!" Saya lupa judul bukunya. Ketika saya cari dalam Kutubu-Tis'ah, hadis itu juga blm ketemu. Ada yang bisa bantu?
Yang jelas, seperti kata Mas Adib, dengan adanya uang maka tegaklah kedaulatan uang yang mahakuasa, dan dengan itu separuh kerja setan sudah selesai, karena sudah dikerjakan para penguasa mata duitan! Astaghfirullah!!!